WARTASIBER.COM : Lumba-lumba merupakan salah satu hewan mamalia laut yang paling sering digunakan sebagai korban dari atraksi lum-lumba diberbagai daerah. Sirkus tersebut bahkan masih marak terjadi di Indonesia. Namun, tahukah anda bahwa sirkus tersebut sebenarnya sudah dilarang di hampir seluruh dunia karena dianggap akan mengancam hewan tersebut secara psikis dan fisik.
“Karena sudah dibuktikan lumba-lumba sulit sekali dipelihara di luar habitatnya, apalagi kalau mereka harus keliling,” kata aktivis perlindungan hewan dari Jakarta Animal Aid Network, Femke Den Haas.
Pemerintah hanya mengizinkan lumba-lumba digunakan dalam pentas hiburan bila kondisinya baik untuk binatang tersebut, tapi realitanya tidak demikian.
Menurut undang-undang nomor 5 tahun 1990 mengenai konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya yang dikeluarkan kementerian kehutanan, setiap orang dilarang memilhara dan memperniagakan atau mengeksploitasi satwa langka.
Oleh karena itu juru bicara Kementerian Kehutanan, Eka Widodo Sugiri, menegaskan siapapun yang menemukan adanya eksploitasi hewan dapat melaporkan ke Kementerian Kehutanan.
Biasanya para orang tua kerap kali mengajak anak-anak mereka untuk menonton sirkus lumba-lumba tersebut demi mendapatkan hiburan dan edukasi. Sayangnya hal ini salah. Tanpa mereka ketahui, lumba-lumba yang digunakan sebagai bahan sirkus merupakan lumba-lumba yang dilatih dengan kekerasan setiap harinya.
Atraksi lumba-lumba bermula sejak tahun 1860-an ketika mereka mulai dipajang di akuarium di Inggris dan Amerika Serikat. Sebagaimana dicatat oleh Carl Safina dalam Beyond Words: What Animal Think and Feel (2015; 383), pertunjukan lumba-lumba diadakan pertama kali di Marine Studios yang berdiri tahun 1938. Marine Studios awalnya merupakan tempat syuting bawah laut yang kemudian berubah menjadi taman Marineland of Florida pada tahun 1970an.
Gelombang penolakan terhadap pertunjukan lumba-lumba pun terjadi di Indonesia. Kampanye Marison Guciano dan anggota Movement to End Animal Circuses and Animal Cruelty in Indonesia adalah contohnya.
Femke Denhaas, pendiri dan koordinator lapangan serta program satwa liar Jakarta Animal Aid Network (JAAN), mengatakan bahwa pentas lumba-lumba dalam segala bentuknya harus dihentikan. “Semua sirkus satwa adalah pembodohan publik dan sesuatu yang mengeksploitasi secara langsung satwa liar. Sirkus satwa sudah menjadi penderitaan, sirkus keliling dengan satwa itu penderitaan yang luar biasa,” ujarnya ketika dihubungi Tirto lewat telepon.
Menurut Denhaas, publik diajak percaya bahwa lumba-lumba merasa senang melakukan atraksi. Padahal mereka beratraksi karena paksaan atau kelaparan. “Satwa dalam sirkus tak punya kehidupan. Mereka dibiarkan lapar agar mau melakukan trik-trik supaya bisa menghibur masyarakat yang bayar untuk menonton,” ujarnya. Denhaas menilai hal ini melanggar asas kesejahteraan hewan.
Ia turut mempersoalkan habitat kolam lumba-lumba yang kecil. “Di laut luas mereka sehari bisa mencapai [jarak] 100 km dengan kecepatan 40km/jam. Kalau mereka dibiarkan hidup di dalam kolam kecil, mereka tidak bisa berenang secara lurus, hanya berputar-putar,” ungkapnya.
Tak hanya itu, klorin dan obat kimia dalam air kolam juga turut membuat lumba-lumba menderita. “Lumba-lumba sama seperti manusia, mamalia. Kalau saya berenang dalam kolam dengan obat, satu jam mata saya merah dan sakit. Lumba-lumba ini dipaksa hidup dalam kolam dengan obat kimia 24 jam,” terangnya. Lumba-lumba juga tidak bisa menggunakan sonar dalam kolam karena pantulannya bisa langsung berbalik ke mereka.
Denhaas berpendapat bahwa edukasi sejati tentang lumba-lumba dimulai dengan mengajarkan publik bahwa mamalia laut ini punya habitat asli di alam. Ia berharap pemerintah mengimplementasikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 guna menghentikan kekejaman pada satwa liar atas nama hiburan.
“Tuntutannya ini satwa terlahir untuk di alam, bukan untuk dijadikan badut untuk menghibur masyarakat,” ujarnya.
Dilansir melalui : Tirto.id dan Brilio.net