Jakarta – Demam berdarah dengue (DBD) sering kali menjadi masalah yang rentan dialami penduduk di negara beriklim tropis, seperti Indonesia. Kementerian Kesehatan merilis hingga pekan ke-37 tahun 2020, setidaknya terdapat 84.734 kasus DBD di seluruh Indonesia.
Jumlah tersebut tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Hal tersebut juga mengkhawatirkan karena bersamaan dengan masih tingginya kasus positif virus corona di Indonesia.
Terkait dua fenomena tersebut, sebuah penelitian baru-baru ini menemukan seseorang yang pernah terkena DBD kemungkinan akan lebih kebal COVID-19.
Pernah Kena DBD, Jadi Kebal COVID-19?
Dilansir Reuters, studi kaitan antara DBD dan COVID-19 itu dipimpin oleh seorang profesor dari Duke University, Miguel Nicolelis. Akan tetapi, studi yang dilakukan di Brasil tersebut belum dipublikasikan sampai sekarang.
Nicolelis menyebut, area-area terpapar wabah DBD justru tingkat infeksi coronanya rendah.
“Jika hipotesis tersebut terbukti benar, ini dapat berarti infeksi demam berdarah ataupun imunisasi dengan vaksin DBD yang manjur dan aman bisa menghasilkan tingkat perlindungan imunologis terhadap COVID-19,” kata Nicolelis kepada Reuters.
Dia mengatakan, orang yang memiliki antibodi DBD di darah mereka, bisa terbukti positif palsu (false positive) dalam tes antibodi virus corona.
Interaksi imunologis di antara dua virus tersebut tidak terpikirkan selama ini. Sebab, keduanya berasal dari famili virus yang berbeda. Nicolelis menyimpulkan perlu studi lanjutan kaitan antara DBD dan COVID-19.
Lantas, bagaimana tanggapan dokter soal dugaan mantan pasien DBD kebal COVID-19? Menurut Dokter Arina Heidyana, belum ada konklusi final yang bisa diambil.
“Studinya baru hipotesis sementara dan belum di-publish. Jadi hasilnya masih bisa berubah,” ujar dr. Arina.
“Tapi (dari) studi yang sudah ada itu, orang-orang yang punya antibodi dengue, pada saat dites ditemukan antibodi COVID-19. Tapi itu positif palsu karena pasiennya tidak terkena COVID-19.”
Jadi kesimpulan sementara, ada hubungan imunologis antara dengue dan COVID-19, tapi belum jelas apa karena virusnya berbeda,” dr. Arina menambahkan.
“Selain itu, dia juga menyebut orang yang memiliki antibodi DBD belum tentu lebih kuat daripada mereka yang tidak memilikinya. Dengan demikian, semua masih butuh penelitian lanjutan.
Mengapa DBD dan COVID-19 Terbilang Mirip?
Mengacu kepada Pusat Nasional untuk Informasi Bioteknologi Amerika Serikat (NCBI), dalam beberapa kasus, infeksi COVID-19 dan demam berdarah sulit dibedakan.
Keduanya memiliki gejala klinis yang serupa. Tak heran kalau muncul kasus salah diagnosis pasien suspek DBD yang sebenarnya justru terinfeksi corona.
Sebagai contoh, demam menjadi gejala utama yang paling umum pada pasien DBD dan COVID-19. Beberapa orang yang terkena demam kadang sulit membedakan apakah terjangkit DBD atau corona.
Dalam penelitian NCBI, ditemukan pola suhu yang khas pada DBD, yakni suhu tinggi yang mendadak. Sementara itu, belum banyak diketahui tentang pola suhu pada COVID-19. Lalu, studi juga menemukan waktu rata-rata penurunan suhu badan terjadi setelah 6 hari.
Di sisi lain, pada pasien demam berdarah, demam yang berlangsung lebih dari 6 hari adalah hal yang tidak biasa. Sebab, pada hari keempat atau kelima, suhu akan cenderung turun.
Jika Anda kesulitan membedakan gejalanya, dr. Arina menyarankan untuk lekas memeriksakan diri.
“(Sebaiknya) cek darah rutin dan swab PCR. Kalau DBD, darah rutinnya pasti menunjukkan hasil trombosit yang rendah, yaitu <100 ribu. Terus kalau COVID-19 pasti hasil swabnya positif,” saran dr. Arina. Hingga saat ini, DBD dan COVID-19 belum ada obatnya. Oleh sebab itu, lebih baik segera memeriksakan diri supaya bisa mendapatkan perawatan yang tepat. Bila Anda masih ada pertanyaan seputar virus corona, langsung saja konsultasikan dengan dokter lewat fitur Live Chat di aplikasi KlikDokter. Sumber: Klikdokter.com