Al Qur’an dan Piagam Madinah Menjadi Bukti Bahwa Umat Muslim Dilarang Menyakiti Umat Agama Lain

WARTASIBER.COM, Didalam Al Qur’an, tidak terdapat larangan kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Hal tersebut tercantum dalam surat al-Mumtahanah ayat 8 disebutkan:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Bahkan, Nabi Muhammad SAW berpesan:

“من آذى ذميا فقد آذاني ومن آذاني فقد آذى الله”

Barang siapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barang siapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah.” (HR Thabrani).

Seorang cendekiawan Muslim H Zainal Abidin Ahmad (ZAA) pada tahun 1973, menerbitkan bukunya yang berjudul Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Dalam tersebut, ZAA banyak mengutip pendapat Prof Hamidullah, yang merupakan seorang pakar manuskrip kuno (lihat juga Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, Pakistan Hijra Council, 1988).

Melalui riset yang dimulai pada tahun 1961 sampai  1973, ZAA akhirnya berhasil menyajikan sebuah buku yang memuat Piagam Madinah dalam berbagai versi bahasa.

Istilah Konstitusi Madinah diberikan oleh seorang orientalis, W Montgomery Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan Wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama Negara Madinah sebagai “Republik Madinah”.

Ddidalam buku tersebut ZAA ini memaparkan bahwa Piagam Madinah merupakan kontitusi negara tertulis pertama di dunia, mendahului Magna Charta di Inggris selama enam abad dan mendahului Konstitusi Amerika Serikat dan Prancis selama 12 abad. Konstitusi Madinah sendiri diawali dengan ungkapan:

بسم الله الرحمن الرحيم: هَذَا كِتَابٌ مِنْ مُحَمّدٍ النّبِيّ، بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ مِنْ قُرَيْشٍ وَيَثْرِبَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ فَلَحِقَ بِهِمْ وَجَاهَدَ مَعَهُمْ

“Bismillahirrahmanirrahiim. Haadzaa kitaabun min Muhammadin Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bainal mu’miniina wal-muslimiina min quraisyin wa-yatsriba wa man tabi’ahum falahiqa bihim wa jaahada ma’ahum.” 

(Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang mukmin dan Muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka).

Piagam Madinah ditetapkan pada 622 M (1 Hijriyah). Ketika itu, belum ada satu negara pun yang memiliki peraturan tentang cara mengatur hubungan antara umat beragama. Piagam Madinah dalam beberapa pasalnya telah jelas mengatur hubungan tersebut. Misalnya, (dari terjemahan ZAA) pasal 16:
“Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.”

Sementara pasal 24 berbunyi:
“Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.”

Pasal 25: “(1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsa-negara (ummah) dengan warga yang beriman.
(2) kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka.
(3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri.
(4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya.”

Dilansir melalui: republika.co.id